Meleburkan sebuah tradisi dari pola hidup masyarakat tertentu tidaklah mudah. Bidan Sri Ariati menjadi bagian dari pengubah tradisi di tempatnya mengabdi, yakni Kelurahan Banggae, Majene, Sulawesi Barat.
Sejak 1980, ia telah mengubah banyak kebiasaan masyarakat lokal yang merugikan kesehatan ibu dan bayi, termasuk adat yang mengharuskan ibu usai melahirkan untuk mengangkat air dari sumur ke rumah, tradisi yang bertujuan mengembalikan kekuatan fisik sang ibu.
"Dukunnya dapat ilmu dari mimpi, bahwa ibu setelah melahirkan, setelah diberi minum kopi dan makan bubur, langsung disuruh angkat ember berisi air, supaya si ibu kembali kuat. Jaraknya beda-beda, tergantung jarak sumur dengan rumahnya," tuturnya kepada okezone usai konferensi pers "Srikandi Award 2011" di Balai Kartini, Jakarta, Senin (19/12/2011).
Pernah suatu kali seorang ibu jatuh pingsan ketika melakoni tradisi ini. Sang dukun dan Sri melihatnya, dan ini menjadi puncak keprihatinan Sri untuk segera menghapuskan tradisi tersebut.
"Saya beritahu dukun, 'Saya mohon maaf, Sando (sebutan masyarakat Majene untuk dukun beranak-red), itu tadi ada kasus, berarti ibu dukun tidak boleh lagi melakukan hal yang demikian. Kalau masih mau, saya harus ukur tensinya dulu. Kalau tensinya rendah, Sando enggak boleh, makanya saya bohong terus sama dukun, saya bilang bahwa tensinya rendah. Terus begitu, akhirnya dia percaya," jelasnya.
Sri sendiri tidak menafikkan jasa dukun beranak, keberadaannya yang secara turun-temurun telah mendapat tempat di hati masyarakat. Dukun beranak juga menjadi sangat berarti mengingat terbatasnya jumlah dokter di daerah.
"Awalnya susah diberitahu. Saya harus telaten, kalau sakit hati, ini akan terus terjadi. Sekarang dukunnya sudah bermitra dengan bidan. Menolong persalinan, kita berbagi tugas. Dukun tugasnya di bagian atas sedangkan bidan bagian bawah," tambahnya.
Tugas bagian atas dimaksud, seperti memberi minuman, memijat kening, atau sekadar mengelus tubuh ibu usai melahirkan. Sementara, bidan menangani persalinan hingga tuntas.
"Bukan hanya bagi pekerjaan, juga duit. Ujung-ujungnya kan duit, mereka butuh penghasilan. Tapi karena kebanyakan masyarakat tergolong miskin, jadi upahnya bisa apa saja, bisa pisang, kelapa, mangga, gula merah," ujarnya.
Sebnyak 172 dukun beranak di wilayahnya kemudian dirangkul dalam sebuah kemitraan dan kesepakatan dengan para bidan yang membawa manfaat kesehatan bagi masyarakat. Sri juga turut memberikan wejangan kepada para calon bidan di daerahnya untuk memelajari tradisi dan budaya setempat. Menurutnya, ini kunci bidan mampu diterima baik di tengah masyarakat.
"Jangan karena sudah tinggi pendidikan, kita anggap enteng orang (dukun beranak-red). Akhirnya, dia merasa dihargai, jadi dia bermitra dengan kita," katanya.
Bidan Sri sendiri melakukan pendekatan ke masyarakat dengan memelajari bahasa Mandar, bahasa sehari-hari masyarakat Banggae. Berkat perjuangannya, Bidan Sri kini menjadi sosok yang tidak lepas dari kehidupan masyarakat Majene.
Sumber: Okezone
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone
0 comments:
Post a Comment