"Anak penyandang epilepsi emosinya tidak stabil, kadang mereka bisa santai atau labil, sehingga mereka jadi pusat perhatian. Mereka juga lebih aktif," ungkapnya dalam diskusi tentang penyakit penyerta (komorbiditas) epilepsi, di Jakarta, Rabu.
Dokter Tjhin menyebutkan beberapa faktor resiko dalam kasus epilepsi dengan kesehatan mental, yaitu defisit neurologis, defisit neuropsikologis, kejang yang bersifat intractable, obat anti epilepsi yang digunakan, masalah dalam keluarga dan stigma.
Di samping itu, berbagai faktor psikososial juga dapat ditemui terkait dengan masalah perilaku dan emosi, seperti kontrol berobat tidak teratur, kejang tidak terkontrol dan latar belakang sosial ekonomi yang rendah. "Jika terjadi masalah kesehatan mental pada anak penyandang epilepsi, sebaiknya dilakukan berbagai intervensi, seperti intervensi psikososial yakni konseling, psikoedukasi maupun psikoterapi individual, kelompok dan keluarga," katanya.
Kemudian, lanjut ia, tidak jarang kondisi tersebut memerlukan intervensi obat. Intervensi obat diberikan sesuai dengan kondisi gangguan mental yang dihadapi anak. Jika dijumpai adanya gangguan depresi dapat diberikan obat anti depresan golongan SSRI.
Di lain pihak, lanjut ia, jika ditemukan adanya gangguan mental lain yang berakibat timbulnya berbagai perilaku maladaptif yang menganggu serta tidak dapat diatasi dengan intervensi psikososial, maka dapat dipertimbangkan obat psikofarmaka.
Kemudian, mengingat, anak dengan epilepsi seringkali berkormobiditas dengan masalah kesehatan mental, maka orang tua maupun anggota keluarga sebagai unsur terdekat dengan anak perlu lebih sensitif terhadap perubahan emosi maupun perilaku anak. Dengan demikian, setiap perubahan dapat cepat terdeteksi dan dilakukan penanganan sedini mungkin.
Sumber:Antara
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone